Salam literasi..
sum : https://yoursay.suara.com/kolom/2022/04/20/130621/gemar-membaca-buku-benarkah-aktivitas-yang-sia-sia
Saya memulai belajar mencintai buku sejak semester 3 di bangku kuliah memang masih terbilang baru karena dahulu membaca hanya sekedar aktifitas yang terpaksa karena tugas sekolah namun tidak ada kata terlambat dalam belajar, karena sejak kecil saya bukanlah terlahir dari keluarga yang begitu melek terhadap literasi namun beruntungnya orang tua saya selalu mendorong diri saya dengan semangat agar tetap belajar dan berpendidikan supaya menjadi manusia yang kelak berguna.
Hingga pada satu waktu saya tinggal mengontrak bersama di kota Bandung daerah gegerkalong bersama teman-teman yang berbeda kampus, ada kekayaan berharga mereka adalah buku yang berjejer di rak lemarinya, sehari-hari saya melihat aktivitas mereka yang sibuk berorganisasi dan membaca buku menjadi kebutuhannya.
Kebetulan ada salah satu teman saya aktivis kampus yang membawa banyak buku bernada semangat : Tulisan suryamansur negara, Hasan Al Bana, Sayyid Qutb, hingga Rasyid ridha. Saya tersengat dengan tulisan mereka : Provokatif, menyentuh dan meledak-ledak. dari teman-teman saya itulah yang menyadarkan dan menanam benih untuk jatuh cinta pada pandangan pertama aktivitas membaca, keduanya seperti oase yang menganyam keyakinan dasar saya tentang keutamaan pengetahuan.
Benar saja pergaulan itu akan sangat berdampak pada kehidupan dan tabiat kita tidak akan jauh dari teman-teman dekat kita. Jujur saya memahami aksara dengan daya tarik yang berbeda, dan itulah yang mengantarkan saya untuk tidak menyukai buku pelajaran : kalimatnya ditata dengan rapi, dingin dan tanpa emosi. saya bosan dan kesal terkadang dalam membaca buku pelajaran karena seperti tawanan yang tanpa adanya kebebasan.
Izinkan saya yang fakir ilmu ini menyampaikan sebuah pesan, diri ini merasa bahwa buku ibaratkan api yang menyulut, yang selalu membakar rasa ingin tahu, dan dapat memuaskan kerinduan pada pengetahuan.
Izinkan saya yang fakir ilmu ini menyampaikan sebuah pesan, diri ini merasa bahwa buku ibaratkan api yang menyulut, yang selalu membakar rasa ingin tahu, dan dapat memuaskan kerinduan pada pengetahuan.
Maka saya percaya kalau perintah membaca merupakan titah paling dini. Membaca merintis jalan apa saja, pengetahuan, peradaban, dan kemajuan.
Karena membaca itulah islam memiliki kekuatan pengubah : mengilhami temuan pengetahuan, membongkar kesadaran palsu. semangat kemajuan dan itulah yang menggoreskan tinta emas sejarah islam selama ratusan tahun lamanya.
Kejatuhan masa itu juga karena mengabaikan pengetahuan. terpesona oleh harta melimpah dan menyukai jabatan kekuasaan islam jatuh. itulah yang menjadi penyebab islam terpuruk dan menjadi bulan-bulanan kaum imperialisme hingga saat ini dampaknya sangat terasa. Islam kehilangan kekuatan progresifnya dan menjadi agama yang lamban yang menentang kemajuan.
Perintah membaca itu diabaikan, Membaca yang membuat umat punya pikiran terbuka. Membaca akan membuat umat tak percaya begitu saja. lalu membaca juga akan mendorong kesadaran kritis dalam berpikir.
Melalui membaca itu umat dilatih agar senantiasa belajar : memahami struktur sosial, memperdalam ide-ide perubahan, dan tak khawatir dengan gagasan pembaharuan. Hanya tak mudah mengajak membuat umat membaca.
Diantarkan oleh kondisi sosial yang mencekam dan dan ketimpangan dimana-mana: agama jadi sarana pembenaran untuk memahami kenyataan; membiarkan kondisi ini berlangsung sembari menuntut umat untuk menerima keadaan. Kian lama agama dituntut bukan untuk menggugat kenyataan tetapi memahami situasi. saat itulah agama kemudian disalahgunakan untuk mendukung status quo: jumud, tertutup, dan merasa diri paling benar.
Lama kelamaan agama menjadi sebuah produk. Mampu memuaskan hasrat pendengarnya: kaum kaya tak merasa berdosa karena amalan tertingginya adalah menderma. yang miskin juga tak sedih karena agama menuntutnya untuk bersabar.
Lama kelamaan agama menjadi sebuah produk. Mampu memuaskan hasrat pendengarnya: kaum kaya tak merasa berdosa karena amalan tertingginya adalah menderma. yang miskin juga tak sedih karena agama menuntutnya untuk bersabar.
Tiang agama bukan lagi pengetahuan tapi kepatuhan buta pada ulama. Kategori yang kini didefinisikan secara sederhana : sosok yang kerap isi pengajian, muncul banyak di media sebagai rohaniwan dan mungkin pula punya pondok atau sekolah agama. Kalau agama terbit dalam suasana seperti itu maka pengajian hanya ekspresi dogma dan doktrin.
Tak membuat umat menjadi kritis dan pintar, tapi ngawur dan bodoh. Hingga muncul riset yang menghina hasilnya : semakin religius sebuah bangsa maka tertinggal dalam ilmu pengetahuan : semakin sekuler sebuah bangsa maka pengetahuan jadi tampak maju.
Tulisan ini hanya sebagai pengantar penggugat kenyataan ini, bahwa kita sebagai yang berstatus sebagai penuntut ilmu seumur hidup, mengajak untuk semangat dalam membaca dan keluar dalam lorong kegelapan itu, lorong dimana agama dipakai untuk kepentingan sebuah politik. Kini waktunya untuk mendorong peran progresif agama. Hal itulah yang melahirkan sosok-sosok besar : Ibn Khaldun, Ibn sina, Al farabi, dll.
Tulisan ini hanya sebagai pengantar penggugat kenyataan ini, bahwa kita sebagai yang berstatus sebagai penuntut ilmu seumur hidup, mengajak untuk semangat dalam membaca dan keluar dalam lorong kegelapan itu, lorong dimana agama dipakai untuk kepentingan sebuah politik. Kini waktunya untuk mendorong peran progresif agama. Hal itulah yang melahirkan sosok-sosok besar : Ibn Khaldun, Ibn sina, Al farabi, dll.
Tulisan ini membuat saya harus banyak menahan kegeraman, Bukan karena agama telah menjauh dari budaya pengetahuan tapi juga dimainkan secara sewenang-wenang. potret tulisan ini menekankan pada kita bahwanya islam memiliki kekuatan raksasa, kekuatan yang membuat pemeluknya mencintai pengetahuan, dan terdorong untuk hidup dengan prinsip pengetahuan. iman dan pengetahuan tak pernah bisa bercerai.
Oleh : Moch Fahman Adwali



Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances