Follow Us

  Oleh : Mohamad Hanif Riwayat Singkat Siapa yang tak mengenal Buya Hamka begitulah orang-orang tahu namanya, namun itu sebenarnya akron...

Ulama Multitalenta milik Nusantara

 


Oleh : Mohamad Hanif

Riwayat Singkat


Siapa yang tak mengenal Buya Hamka begitulah orang-orang tahu namanya, namun itu sebenarnya akronim dari nama aslinya yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah begitu indah namanya. Beliau adalah seorang ulama, aktivis, penulis, sastrawan yang terkenal di Nusantara. Lahir pada tanggal 17 Febuari 1908 di kampung Molek Maninjau , Sumatera Barat. Ayahnya ialah syekh Abdul Karim bin Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan Haji Rasul yaitu seorang pelopor gerakan islah (tajdid) di Minangkabau.


Buya adalah seorang otodidak dalam mempelajari sesuatu dan mengulik secara mendalam berbagai bidang keilmuan seperti falsafah, kesusastraan, sejarah, sosiologi , dan politik. Pada 1918 saat buya Hamka berusia 10 tahun, ayahnya mendirikan pondok pesantren di padang panjang dengan nama “ Sumatera Thawalib” di situlah buya mempelajari Agama dan Bahasa Arab secara mendalam, selain daripada itu beliau pun mengikuti pengajaran agama di Masjid yang disampaikan oleh ulama-ulama terkenal seperti syekh Ibrahim Musa, syekh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, Ki Bagus Hadikusumo dan R.M Surjopranoto.


Berkat kemahiran dalam bahasa Arabnya yang tinggi beliau bisa sampai menyelidiki karya ulama besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Husin Haikal dan yang lainnya. Ia sempat berangkat dan bermukim 6 bulan di makkah, kemudian kembali dan melanjutkan keaktifannya dalam gerakan Islam, buya Hamka hampir mendedikasikan sebagian besar hidupnya kepada organisasi Islam besar di Indonesia yaitu Muhammadiyah.

 

 

Kisah dan Pengalaman

           

Memang di organisasi Muhammadiyah buya Hamka namanya melambung tinggi, namun bukan itu satu-satunya yang membuat orang mengenal sosok beliau, melainkan dari banyaknya karya yang dibuat dari pena dan hasil pemikirannya. Ada sebuah karya fenomenal yang ia tulis dalam bidang tafsir yaitu Tafsir Al Azhar, karya nya tersebut ditulis semasa beliau mendekam di penjara saat kepemimpinan Presiden Soekarno.


Mulanya pada 1964 buya Hamka difitnah atas hal-hal yang memang tidak beliau lakukan, ini di sebabkan buya sempat mengkritisi sistem demokrasi terpimpin yang diusung oleh Soekarno. 2 tahun 4 bulan Hamka terkurung dalam penjara yang kemudian setelah berakhirnya kekuasaan Soekarno ia pun dibebaskan, tetapi ada kisah menarik dari kejadian tersebut yaitu pada 16 Juni 1970 buya Hamka menerima sebuah pesan yang diantarkan oleh Mayor Jendral Soeryo (ajudan dari presiden soeharto) ke rumahnya.


Pesan tersebut ditulis oleh orang yang memenjarakannya, itu adalah pesan terakhir sang Proklamator yang berisikan permintaan agar Hamka mau menjadi Imam Shalat Jenazahnya. Buya hamka tak mengetahui bahwa Soekarno telah wafat setelah bertanya pada mayjen Soeryo, ia langsung bergegas ke wisma Yaso di mana tempat tersebut menjadi tempat di shalatkan nya jenazah Soekarno dan buya pun dengan ikhlas menjadi Imam Shalat Jenazahnya. Begitu besar jiwa dan pribadi dari buya Hamka walaupun di fitnah hingga di jebloskan ke penjara ia tak pernah sedikitpun memiliki rasa dendam, sebab menurutnya Dendam itu termasuk Dosa.

 

           


Tak hanya Tafsir Al Azhar ada banyak karya lainnya yang ia tulis dalam bidang keagamaan, yaitu antara lain Islam dan Demokrasi (1946), Tarikh Sayidina Abu Bakar (1929), Tasawuf Modern ( 1939), Falsafah Hidup ( 1939), Revolusi Agama (1946) dan masih banyak lagi. Dari sedikitnya karya yang bisa dituliskan disini dapat kita lihat bahwa kontribusi beliau dalam bidang Agama itu besar dan tidak main-main.

           

Di bidang sastra pada tahun 1929 buya Hamka sudah membuat karya fiksi nya yang pertama yaitu novel roman berjudul Si Sabariah, ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang sastrawan yang mumpuni. Namun karya yang paling fenomenal dari Hamka pada bidang sastra ialah novel yang berjudul Tenggelamnya Kapal Vander Wijk yang dibuat pada tahun 1937, karena begitu menarik cerita tersebut akhirnya novel ini diadaptasi ke dalam sebuah film dengan judul yang sama. Film Tenggelamnya Kapal Vander Wijk dirilis pada 19 Desember 2013.


Akan tetapi pada 1963 menjadi tahun dimana buya Hamka terlibat perseteruan dengan sesama sastrawan kondang yaitu Pramoedya Ananta Toer. Hal itu bermula ketika Pram, lewat rubrik lentera dalam koran harian bintang timur yang diasuhnya memfitnah bahwa cerita Tenggelamnya Kapal Vander Wijk karya Hamka adalah hasil dari menjiplak karya seorang sastrawan Perancis Jean Baptise Alphonse Kaar yang berjudul Sous Les Tilleus. Berbulan-bulan lamanya Hamka mendapat kritik keras hingga karya nya dilarang terbit, tetapi karena  koran yang diasuh oleh Pramoedya berafiliasi dengan PKI maka ketika G30SPKI 1965 mencuat orang-orang yang terlibat atau dekat dengan Pki harus ditangkap dan Pramoedya adalah salah seorang yang ditangkap kemudian diasingkan ke pulau Buru sebagai tahanan politik.


14 tahun kemudian Pramoedya dinyatakan bebas pada 1979, saat itu Pram dan Hamka sudah tidak berkomunikasi lagi satu sama lain. Namun suatu ketika Buya kedatangan Astuti ( putri sulung Pramoedya) kemudian ia menjelaskan maksud dan tujuan kedatangannya, yaitu Astuti ingin mendampingi calon suaminya (Daniel Setiawan) untuk masuk dan belajar Islam sebab diketahui bahwa ayah Astuti tak setuju apabila anaknya menikah dengan seseorang yang berbeda agama dengannya.


Seorang kawan dekat Pram, Hoedaifah berpendapat bahwa keputusan Pramoedya meminta Astuti untuk datang mendampingi suaminya kala itu ke rumah Buya Hamka adalah sebagi wujud dari permintaan maafnya kepada Hamka dan sikap menerima dengan senang hati yang ditunjukan secara tidak langsung oleh Buya memperlihatkan bahwa ia pun memaafkan Pram. Sekali lagi begitu lapang dan besarnya hati dari seorang Hamka.


Selain Tenggelamnya Kapal Vander Wijk ada juga karya beliau yang populer hingga sekarang diantaranya yaitu Di bawah lindungan Ka`bah (1936), Merantau ke Deli (1940), Tuan Direktur (1939), Di Tepi Sungai Baljah (1950) dan masih banyak lagi.






Kiprah dari seorang Hamka tidak hanya sebatas dalam bidang kepenulisan saja tetapi ia pun terjun dan aktif dalam bidang politik. Beliau sempat menjadi anggota dari partai Masyumi dan menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia yang Pertama. Walaupun sebelumnya ia sempat merasa tidak pantas untuk duduk di kursi pemerintahan, namun hal itu ia tepis dengan sebuah untaian kalimat “ Janganlah kamu takut pada Politik, jika tak mau ditelannya”.


Menjelang wafatnya Buya Hamka  mengabdikan diri sebagai Imam Masjid Al Azhar Jakarta. Dan beliau pun berpulang pada hari Jumat 24 Juli 1981 yang bertepatan dengan hari ke-22 Ramadhan 1401 H. 


Maka sampailah pada titik dimana kita bisa melihat bahwa Buya Hamka adalah salah seorang Ulama, Sastrawan, Cendikiawan muslim yang begitu bertalenta dalam banyak bidang dan kita sebagai generasi penerus bangsa perlu mencotoh serta mengambil banyak pelajaran dari Tokoh sekaligus Pahlawan bangsa ini yaitu Buya Hamka sang Ulama Multitalenta dari Nusantara.

 


Referensi :

§  Haji, Rusydi Hamka. (2017). Pribadi dan martabat Buya Hamka. Jakarta : Mizan

§  Hamka, Irfan. (2014). Ayah : kisah Buya Hamka. Jakarta : Republika

§  Ibda, I. (24 Juni 2018). Riwayat Buya Hamka, Ulama Multitalenta. Alif.id. https://alif.id/read/hamidulloh-ibda/riwayat-buya-hamka-ulama-multitalenta-b210296p/

§  Muhid, M. (24 Juni 2022). Kisah Soekarno Minta Buya Hamka Meyalatkan Jenazahnya. Tempo.com. https://www.google.com/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1605234/kisah-soekarno-minta-buya-hamka-menyalatkan-jenazahnya

§  Maharani, M. (15 April 2021). Perseteruan Hamka dan Pramoedya Ananta Toer hingga Berdamai lewat Islam. Kompas.com. https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2021/04/15/03300071/perseteruan-hamka-dan-pramoedya-ananta-toer-hingga-berdamai-lewat-islam

§  Fadliyati, F. (18 Maret 2019). Mengenal kembali Buya Hamka. Alif.id. https://alif.id/read/ilkiyafadliyati/mengenal-kembali-buya-hamka-b216279p/

 


 

 


0 comments: