Riwayat
Singkat
Siapa
yang tak mengenal Buya Hamka begitulah orang-orang tahu namanya, namun itu sebenarnya
akronim dari nama aslinya yaitu Haji Abdul
Malik Karim Amrullah begitu indah namanya. Beliau adalah seorang ulama, aktivis,
penulis, sastrawan yang terkenal di Nusantara. Lahir pada tanggal 17 Febuari
1908 di kampung Molek Maninjau , Sumatera Barat. Ayahnya ialah syekh Abdul
Karim bin Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan Haji Rasul yaitu seorang
pelopor gerakan islah (tajdid) di Minangkabau.
Buya
adalah seorang otodidak dalam mempelajari sesuatu dan mengulik secara mendalam
berbagai bidang keilmuan seperti falsafah, kesusastraan, sejarah, sosiologi ,
dan politik. Pada 1918 saat buya Hamka berusia 10 tahun, ayahnya mendirikan
pondok pesantren di padang panjang dengan nama “ Sumatera Thawalib” di situlah buya
mempelajari Agama dan Bahasa Arab secara mendalam, selain daripada itu beliau
pun mengikuti pengajaran agama di Masjid yang disampaikan oleh ulama-ulama
terkenal seperti syekh Ibrahim Musa, syekh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, Ki Bagus
Hadikusumo dan R.M Surjopranoto.
Berkat
kemahiran dalam bahasa Arabnya yang tinggi beliau bisa sampai menyelidiki karya
ulama besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Husin Haikal dan yang
lainnya. Ia sempat berangkat dan bermukim 6 bulan di makkah, kemudian kembali
dan melanjutkan keaktifannya dalam gerakan Islam, buya Hamka hampir mendedikasikan
sebagian besar hidupnya kepada organisasi Islam besar di Indonesia yaitu Muhammadiyah.
Kisah
dan Pengalaman
Memang
di organisasi Muhammadiyah buya Hamka namanya melambung tinggi, namun bukan itu
satu-satunya yang membuat orang mengenal sosok beliau, melainkan dari banyaknya
karya yang dibuat dari pena dan hasil pemikirannya. Ada sebuah karya fenomenal
yang ia tulis dalam bidang tafsir yaitu Tafsir Al Azhar, karya nya tersebut
ditulis semasa beliau mendekam di penjara saat kepemimpinan Presiden Soekarno.
Mulanya pada 1964 buya Hamka difitnah atas
hal-hal yang memang tidak beliau lakukan, ini di sebabkan buya sempat
mengkritisi sistem demokrasi terpimpin yang diusung oleh Soekarno. 2 tahun 4
bulan Hamka terkurung dalam penjara yang kemudian setelah berakhirnya kekuasaan
Soekarno ia pun dibebaskan, tetapi ada kisah menarik dari kejadian tersebut
yaitu pada 16 Juni 1970 buya Hamka menerima sebuah pesan yang diantarkan oleh
Mayor Jendral Soeryo (ajudan dari presiden soeharto) ke rumahnya.
Pesan
tersebut ditulis oleh orang yang memenjarakannya, itu adalah pesan terakhir sang
Proklamator yang berisikan permintaan agar Hamka mau menjadi Imam Shalat
Jenazahnya. Buya hamka tak mengetahui bahwa Soekarno telah wafat setelah
bertanya pada mayjen Soeryo, ia langsung bergegas ke wisma Yaso di mana tempat
tersebut menjadi tempat di shalatkan nya jenazah Soekarno dan buya pun dengan
ikhlas menjadi Imam Shalat Jenazahnya. Begitu besar jiwa dan pribadi dari buya
Hamka walaupun di fitnah hingga di jebloskan ke penjara ia tak pernah sedikitpun
memiliki rasa dendam, sebab menurutnya Dendam itu termasuk Dosa.
Tak
hanya Tafsir Al Azhar ada banyak karya lainnya yang ia tulis dalam bidang keagamaan,
yaitu antara lain Islam dan Demokrasi (1946), Tarikh Sayidina Abu Bakar (1929),
Tasawuf Modern ( 1939), Falsafah Hidup ( 1939), Revolusi Agama (1946) dan masih
banyak lagi. Dari sedikitnya karya yang bisa dituliskan disini dapat kita lihat
bahwa kontribusi beliau dalam bidang Agama itu besar dan tidak main-main.
Akan tetapi pada 1963
menjadi tahun dimana buya Hamka terlibat perseteruan dengan sesama sastrawan
kondang yaitu Pramoedya Ananta Toer. Hal itu bermula ketika Pram, lewat rubrik
lentera dalam koran harian bintang timur yang diasuhnya memfitnah bahwa cerita
Tenggelamnya Kapal Vander Wijk karya Hamka adalah hasil dari menjiplak karya
seorang sastrawan Perancis Jean Baptise Alphonse Kaar yang berjudul Sous Les
Tilleus. Berbulan-bulan lamanya Hamka mendapat kritik keras hingga karya nya
dilarang terbit, tetapi karena koran
yang diasuh oleh Pramoedya berafiliasi dengan PKI maka ketika G30SPKI 1965 mencuat
orang-orang yang terlibat atau dekat dengan Pki harus ditangkap dan Pramoedya
adalah salah seorang yang ditangkap kemudian diasingkan ke pulau Buru sebagai
tahanan politik.
14 tahun kemudian Pramoedya dinyatakan bebas
pada 1979, saat itu Pram dan Hamka sudah tidak berkomunikasi lagi satu sama
lain. Namun suatu ketika Buya kedatangan Astuti ( putri sulung Pramoedya)
kemudian ia menjelaskan maksud dan tujuan kedatangannya, yaitu Astuti ingin
mendampingi calon suaminya (Daniel Setiawan) untuk masuk dan belajar Islam
sebab diketahui bahwa ayah Astuti tak setuju apabila anaknya menikah dengan
seseorang yang berbeda agama dengannya.
Seorang
kawan dekat Pram, Hoedaifah berpendapat bahwa keputusan Pramoedya meminta
Astuti untuk datang mendampingi suaminya kala itu ke rumah Buya Hamka adalah
sebagi wujud dari permintaan maafnya kepada Hamka dan sikap menerima dengan
senang hati yang ditunjukan secara tidak langsung oleh Buya memperlihatkan bahwa
ia pun memaafkan Pram. Sekali lagi begitu lapang dan besarnya hati dari seorang
Hamka.
Selain
Tenggelamnya Kapal Vander Wijk ada juga karya beliau yang populer hingga
sekarang diantaranya yaitu Di bawah lindungan Ka`bah (1936), Merantau ke Deli
(1940), Tuan Direktur (1939), Di Tepi Sungai Baljah (1950) dan masih banyak
lagi.
Kiprah
dari seorang Hamka tidak hanya sebatas dalam bidang kepenulisan saja tetapi ia
pun terjun dan aktif dalam bidang politik. Beliau sempat menjadi anggota dari
partai Masyumi dan menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia yang Pertama. Walaupun
sebelumnya ia sempat merasa tidak pantas untuk duduk di kursi pemerintahan, namun
hal itu ia tepis dengan sebuah untaian kalimat “ Janganlah kamu takut pada
Politik, jika tak mau ditelannya”.
Menjelang wafatnya Buya Hamka mengabdikan diri sebagai Imam Masjid Al Azhar Jakarta. Dan beliau pun berpulang pada hari Jumat 24 Juli 1981 yang bertepatan dengan hari ke-22 Ramadhan 1401 H.
Maka sampailah pada titik dimana kita bisa melihat bahwa Buya Hamka adalah salah seorang Ulama, Sastrawan, Cendikiawan muslim yang begitu bertalenta dalam banyak bidang dan kita sebagai generasi penerus bangsa perlu mencotoh serta mengambil banyak pelajaran dari Tokoh sekaligus Pahlawan bangsa ini yaitu Buya Hamka sang Ulama Multitalenta dari Nusantara.
Referensi :
§ Haji,
Rusydi Hamka. (2017). Pribadi dan martabat Buya Hamka. Jakarta : Mizan
§ Hamka,
Irfan. (2014). Ayah : kisah Buya Hamka. Jakarta : Republika
§ Ibda,
I. (24 Juni 2018). Riwayat Buya Hamka, Ulama Multitalenta. Alif.id. https://alif.id/read/hamidulloh-ibda/riwayat-buya-hamka-ulama-multitalenta-b210296p/
§ Muhid,
M. (24 Juni 2022). Kisah Soekarno Minta Buya Hamka Meyalatkan Jenazahnya. Tempo.com.
https://www.google.com/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1605234/kisah-soekarno-minta-buya-hamka-menyalatkan-jenazahnya
§ Maharani,
M. (15 April 2021). Perseteruan Hamka dan Pramoedya Ananta Toer hingga Berdamai
lewat Islam. Kompas.com. https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2021/04/15/03300071/perseteruan-hamka-dan-pramoedya-ananta-toer-hingga-berdamai-lewat-islam
§ Fadliyati,
F. (18 Maret 2019). Mengenal kembali Buya Hamka. Alif.id. https://alif.id/read/ilkiyafadliyati/mengenal-kembali-buya-hamka-b216279p/














Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances